Perkembangan
IPTEK pada Massa Perang Dunia II
Dengan adanya inovasi iptek di implementasikan dalam wujud kepentingan
perang dan pesawat terbang,roket, eksplorasi antariksa hingga tenaga atom
menandai sebuah era baru perkembangan iptek dunia.Dalam perang dunia II
penggunaan teknologi untuk kepentingan perang begitu menonjol.penggunaan tank
dalam pada konflik perang dunia I dan bom atom pada perang dunia II tanda-tanda
yang sama sebagai tanggapan dari rangsangan kebutuhan militer yang
mendesak.selain itu inovasi pesawat terbang pun menjadi priolitas tersendiri
sebagai media fiktif untuk melakukan peperangan diudara.perang udara menjadi
salah satu ciri dari inovasi teknologi yang telah mengubah pola perang
konvesional didarat dan laut.
Inovasi-inovasi teknologi tersebut telah mengubah karakter perang itu
sendiri.dalam hal ini temuan-temuan teknologi akan difokuskan pada perang dunia
II.salah satu teknologi yang dikembangkan selama perang dunia II adalah
roket.perinsip daya dorong roket sebagai alat untuk mencapai kecepatan
melepaskan diri dari gravitasi bumi telah ditunjukkan konstantin tsiolkovsky
dan pakar amerika Robert H.Goddard.goddard membangun roket berbahan bakar gas
cair pada tahun 1962.
a A. meningkatkan daya dorong roket
peningkatan daya dorong roket dilakukan untuk menaruh satelit-satelit ke dalam
orbit dan pemeriksaan penggunaan satelit untuk keperluan komunikasi.fungsi
lainnya untuk mengamati keadaan udara,memantau untuk keperluan militer, dan
survei topografis dan geografis.
B. program pesawat angkasa berawak
tahapan ini dia diawali oleh kosmonot rusia yuri gagarin,pada tanggal 12 april
1961 dalam pesawat vostok I.penerbangan ini memperhatikan penguasaan masalah
yang dapat membawa pesawat dan awaknya ke atmosfer bumi, yaitu awak pesawat
yang berjalan di luar angkasa.
c C. program menuju bulan
bermula dengan pendekatan-pendekatan ke bulan dilanjutkan dengan survei
pendaratan berawak ke permukaan. NASA mendalami studi ruang angkasa, sedangkan
ARPANET dibawah departemen pertahanan DARPA( defence advence research protect
agency) mempromosikan ilmu komputer dan pemrosessan informasi dalam pemusatan
informasi.
PEMANFAATAN TEKNOLOGI NUKLIR
PADA PERANG DUNIA II
Teknologi
nuklir untuk kepentingan Militer.
Mengingat tehnologi nuklir merupakan suatu teknologi
maju yang sangat strategis, sejak perang dunia kedua telah dikembangkan senjata
pemusnah massal yang berbasis pada teknologi nuklir, yag dikenal dengan senjata
nuklir (nuclear weapon) dan peralatan perang berbasis teknologi nuklir salah
satunya adalah kapan selam nuklir.
Senjata Nuklir.
Senjata nuklir adalah salah satu alat pemusnah masal
yang mendapatkan daya ledak (daya hancur) dari reaksi nuklir, baik reaksi fisi
atau kombinasi dari fisi dan fusi. Keduanya melepaskan sejumlah besar energi
dari sejumlah massa yang kecil, bahkan senjata nuklir mini dapat menghancurkan
sebuah kota dengan ledakan, api, dan radiasi. Sejak berakhirnya perang dunia
kedua, badan internasional seperti PBB, dalam hal ini ditangani secara khusus
oleh IAEA, berusaha untuk mengendalikan penggunaan dan pengembangan teknologi
nuklir sebagai senjata pemusnah massal.
Pada Perang Dunia kedua, Amerika membiayai sebuah proyek
rahasia yang bernama Manhattan Project, proyek ini mempunyai tujuan membuat
senjata nuklir berdasarkan pada setiap jenis unsur belah (fissile material).
Dalam pelaksanaan proyek tersebut, pada tanggal 16 Juli 1945 Amerika Serikat
telah meledakkan senjata nuklir pertama dalam sebuah percobaan dengan nama
sandi "Trinity", yang diledakkan dekat Alamogordo, New Mexico.
Percobaan ini bertujuan untuk menguji cara peledakkan senjata nuklir.
Di luar kepentingan percobaan proyek, Bom uranium
pertama diberi nama Little Boy, diledakkan di kota Hiroshima, Jepang, pada
tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan peldakkan bom plutonium Fat Man di
Nagasaki. Sejak diledakkannya Fat Man, jepang bertekuk lutut pada sekutu dan
berakhirlah Perang Dunia Kedua.
Sejak peledakkan tersebut, tidak ada senjata nuklir yang
dilepaskan secara ofensif. Namun, perlombaan senjata untuk mengembangkan
senjata pemusnah terjadi. Empat tahun berikutnya, pada 29 Agustus 1949, Uni
Soviet meledakkan senjata fisi nuklir pertamanya. Inggris mengikuti pada
tanggal 2 Oktober 1952, Prancis pada 13 Februari 1960, dan Cina pada 16 Oktober
1964.
Berbda dengan senjata pemusnah konvensional, senjata
nuklir masih mempunyai efek mematikan hingga 2-5 tahun setelah diledakkan
disamping korban tewas sesaat setelah diledakkan. Setengah dari korban yang
tewas di Hiroshima dan Nagasaki meninggal dua lima tahun setelah ledakan nuklir
yang diakibatkan oleh paparan radiasi.
Disamping senjata (bom) nuklir, senjata pemusnah masal
lainnya yang berbasis teknologi nuklir adalah Senjata radiologi. Senjata
radiologi adalah tipe senjata nuklir yang dirancang untuk menyebarkan material
nuklir yang berbahaya ke wilayah musuh. Senjata tipe tidak memiliki kemampuan
ledakan seperti bom fisi atau fusi, namun mengkontaminasi sejumlah besar
wilayah untuk membunuh banyak orang. Senjata radiologi tidak pernah dilepaskan
karena dianggap tidak berguna bagi angkatan bersenjata konvensional. Namun
senjata tipe ini meningkatkan kekhawatiran terhadap terorisme nuklir.
Sejak tahun 1945 hingga tahun 1963, lebih dari 2000
percobaan nuklir dilakukan. Pada tahun 1963, seluruh negara pemilik dan
beberapa negara non pemilik senjata nuklir menandatangani Limited Test Ban
Treaty, yang berisi bahwa mereka tidak akan melakukan percobaan senjata nuklir
di atmosfer,bawah air, atau luar angkasa. Perjanjian ini masih mengijinkan percobaan
nuklir bawah tanah. Prancis melanjutkan percobaan nuklir di atmosfer hingga
tahun 1974, Cina hingga tahun 1980. Percobaan bawah tanah terakhir oleh Amerika
Serikat dilakukan pada tahun 1992, Uni Soviet di tahun 1990, dan Inggris di
tahun 1991, sedangkan Prancis dan Cina hingga tahun 1996. Setelah mengadopsi
Comprehensive Test Ban Treaty di tahun 1996, seluruh negara tersebut telah
disumpah untuk menghentikan seluruh percobaan nuklir. India dan Pakistan yang
tidak termasuk ke dalam negara-negara tersebut melakukan percobaan nuklir
terakhirnya di tahun 1998.
Senjata nuklir adalah senjata yang paling mematikan yang
pernah diketahui. Ketika Perang Dingin, dua kekuatan besar memiliki sejumlah
besar persenjataan nuklir yang cukup untuk menghancurkan ratusan juta orang.
Berbagai generasi manusia hidup dalam bayang-bayang penghancuran oleh nuklir,
direlfeksikan dalam film-film seperti Dr. Strangelove dan Atomic Cafe.
Kapal Selam Nuklir
Kapal Selam Nuklir (KSN) adalah kapal selam yang
pengoperasiannya menggunakan tenaga nuklir sebagai sumber tenaga. KSN
menggunakan reaktor air bertekanan atau PWR (pressurizer water reactor) sebagai
sumber tenaga memutar turbin utama yang menggerakkan baling-baling serta motor
elektrik pengisi baterai yang menghasilkan listrik untuk berbagai keperluan.
Berbeda dengan kapal selam diesel, kapal selam nuklir tidak perlu muncul ke
permukaan untuk menghisap udara seperti yang dilakukan kapal selam diesel yang
memerlukan udara dalam pembakaran bahan bakarnya. Keunggulan KSN terletak pada
masa operasionalnya serta lebih bertenaga meskipun kapal selam mempunyai ukuran
besar dan harus dalam kondisi menyelam, uranium sebagai bahan bakar dari
reaktor dapat diganti setelah 3 tahun pemakaian. Faktor penghambat operasional
kapal selam nuklir adalah kebutuhan atau suplai logistik awak kapal.
KSN pertama dibuat tahun 1951, yang dipelopori oleh
seorang perwira AL Amerika Serikat,Kapt. Hyman G. Rickover. Karya pertama
nya adalah: USS Nautilus (1951)Yang revolusioner dari KSN adalah penggunaan
reaktor nuklir untuk membangkitkan tenaga gerak propeller dan pengisian
(recharge) battere-battere yang akan digunakan oleh motor listrik. Jadi posisi
mesin diesel diambil alih oleh Reaktor Nuklir Mini. Sedang motor listrik tetap
dipertahankan.
SEJARAH PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI PERSENJATAAN
Teknologi
persenjataan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Teknologi
persenjataan yang dikembangkan oleh Negara-negara maju antara lain: senjata
darat, udara, senjata nuklir, senjata laser, dan senjata biologi.
Tahun
1912, bom berbentuk granat tangan yang sederhana. Bom berkembang menjadi
senjata yang dijatuhkan dari pesawat. Bom kemudian berkembang menjadi rudal
yang merupakan elemen kunci dalam pertahanan strategis Negara-negara besar,
seperti USA, Rusia, Inggris, Perancis, dan Cina.
Rudal
sebagai wahana pelontaran hulu ledak bias nuklir atau senjata pemusnah massal
lainnya dalam hal ini kimia dan biologi dikembangkan melalui teknologi
peroketan.
Dunia
mengenal Robert Goddard
(USA), Konstantin Tsiolkovsky
(Rusia) dan Wernher von
Braun (Jerman) yang dikenal sebagai bapak peroketan.
Roket-roket
Hitler pada masa PD II, seperti V-2 pernah mengancam London, Inggris.
Tahun
1957, Rusia berhasil meluncurkan Sputnik.
Sementara itu dengan didukung oleh von Braun, USA mengembangkan Roket Saturnus
V yang membawa astronotnya ke bulan.
Kini
teknologi peroketan untuk membuat rudal sudah meluas, selain Negara-negara
diatas Iran, Korea Utara, dan Irak juga memiliki teknologi peroketan. Arab
Saudi juga memiliki rudal balistik jarak sedang yang dibeli dari CIna. USA
bersama sekutunya menerapkan Missile
Technology Control Regime (Badan pengawasan teknologi rudal).
Perang
rupanya mendorong para teknokrat menjadi kreatif untuk menciptakan
senjata perang. Igor
Sikorsky ialah orang pertama kali mengembangkan helicopter
untuk kepentingan militer.
Sejak
tahun 1967, AS dan Rusia bersaing mengembangkan konsep pesawat tempur modern
bermesin jet supersonic jarak jauh antar benua.
Pada
tanggal 2 Agustus 1939, Albert
Einstein menulis surat kepada presiden Franklin Roosevelt. Dalam
surat tersebut diberitahukan bahwa NAZI-Jerman sedang giat memurnikan uranium
dan kemungkinan bahan tersebut dipersiapkan untuk pembuatan bom atom dengan
kekuatan besar. Tidak lama kemudian pemerintah AS menggelar suatu proyek
rahasia yang disebut Proyek
Manhattan.
Senjata
lain yang berbahaya adalah senjata biologi yang dapat menyebabkan jatuhnya
ribuan korban hanya dengan menggunakan sedikit material.
Senjata biologi
dapat dikembangkan dengan mempergunakan organisme-organisme hidup (bekteri dan
virus) atau toksin (racun) yang diperoleh dari organisme-organisme.
Program
senjata biologi juga lebih mudah disamarkan dalam bentuk fasilitas produksi dan
penelitian biasa daripada melalui fasilitas nuklir atau kimia. Bagian paling
sulit untuk menyembunyikan program senjata biologi adalah proses akhirnya,
yaitu ketika organisme atau zat toksin diletakkan di hulu ledak misil, bom,
senjata artileri, atau tangki penyemprot aerial.
Kesepakatan
Persenjataan Biologi (KPB) yang diperlakukan pada tahun 1975, melarang
penelitian, pengembangan, produksi, penimbunan, atau pengambilalihan senjata
biologi dan toksin. Kesepakatan tersebut melarang system pengangkutan yang
dirancang untuk mengangkut jenis-jenis senjata tersebut. Aturan tersebut
berasal dari aturan perang kuno yang melarang penggunaan senjata ataupun
substansi "beracun" dalam konflik bersenjata yang pertama kali
dimodifikasi dalam Kesepakatan Den Haag pada tahun 1899 dan 1907.
MASALAH-MASALAH
PENGEMBANGAN IPTEK
Pengalaman negara-negara maju dan
negara baru maju menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi
berakar pada kemampuan teknologi dan inovasi yang dimiliki. Kemampuan teknologi yang tinggi telah memberikan kekuatan untuk bersaing dan
peluang dalam kancah perdagangan internasional yang kompetitif.
Sulit untuk dibantah bahwa kemampuan
teknologi yang dimiliki oleh suatu bangsa akan sangat menentukan daya saing, sehingga semua negara di dunia berusaha untuk mengejar
ketertinggalannya dalam penguasaan
Iptek.
Keberhasilan negara-negara baru
maju di Asia Timur tidak dapat diulang dengan mudah di negara berkembang tapi perlu diciptakan kondisi tertentu dan berupaya
mengatasi masalah-maslah dalam pengembangan IPTEK seperti
akan diuraikan di bawah ini.
Keterbatasan Sumber Daya Iptek
Masih terbatasnya sumber daya
iptek tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan
kesenjangan pendidikan di bidang
iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001 adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan
Jepang sebesar 70,7. Selain itu rasio anggaran iptek terhadap PDB
sejak tahun 2000 mengalami penurunan,
dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2002. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan rasio serupa di ASEAN, seperti Malaysia sebesar
0,5 persen (tahun 2001) dan Singapura sebesar 1,89 persen
(tahun 2000). Sementara itu menurut rekomendasi
UNESCO, rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen.
Kecilnya anggaran iptek berakibat
pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk
operasi dan pemeliharaan.
Belum Berkembangnya Budaya Iptek
Budaya bangsa secara umum masih
belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang
mempunyai penalaran obyektif,
rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar
memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli, serta lebih
suka belajar dan berkreasi daripada sekedar
menggunakan teknologi yang ada.
Belum Optimalnya Mekanisme Intermediasi
Iptek
Belum optimalnya mekanisme
intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara
kapasitas penyedia iptek dengan
kebutuhan pengguna. Masalah ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, seperti institusi yang mengolah
dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi
teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem
produksi.
Lemahnya Sinergi Kebijakan Iptek
Lemahnya sinergi kebijakan iptek,
menyebabkan kegiatan iptek belum sanggup
memberikan hasil yang signifikan.
Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan
pada sisi 15 penyedia,
tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri. Disamping itu kebijakan fiskal juga dirasakan belum
kondusif bagi pengembangan kemampuan iptek.
Belum Terkaitnya Kegiatan Riset dengan
Kebutuhan Nyata
Kegiatan penelitian yang tidak
didorong oleh kebutuhan penelitian yang jelas dan eksplisit, menyebabkan lembaga-lembaga litbang tidak memiliki kewibawaan sebagai
sebuah instansi yang memberi pijakan saintifik bagi
kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Salah satu
dampak langsung dengan adanya kegiatan riset yang tidak didasari oleh kebutuhan yang jelas adalah terjadinya inefisiensi yang luar biasa
akibat duplikasi penelitian atau plagiarisme.
Dampak lainnya adalah merapuhnya
budaya penelitian sebagai pondasi kelembagaan ristek, seperti yang terjadi pada sektor pendidikan. Pendidikan di
Indonesia dapat dikatakan telah gagal membudayakan rasa ingin tahu,
budaya belajar dan apresiasi yang tinggi pada
pencapaian ilmiah.
Belum Maksimalnya Kelembagaan Litbang
Kelembagaan litbang yang belum
dapat berfungsi secara maksimal, disebabkan karena manajemen yang lemah. Seorang peneliti yang hebat belum tentu memiliki
ketrampilan dan sikap manajerial yang dibutuhkan untuk memimpin
sebuah lembaga litbang. Selain itu perkembangan
manajemen penelitian dan pengembangan di Indonesia jauh tertinggal. Dari ratusan peneliti tangguh di tanah air, hanya sebagian kecil yang
memiliki kemampuan memimpin lembaga litbang sebagai sebuah entitas
manajemen. Kursus-kursus manajemen (proyek) penelitian dan
pengembangan amat jarang dilakukan,dan
kalaupun ada, ditawarkan oleh pihak asing dengan biaya kursus yang mahal.
Masih Rendahnya Aktifitas Riset di
Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi yang diharapkan
menjadi sebuah pusat keunggulan (centre of
excellence) juga belum
berhasil mengarusutamakan penelitian dan pengembangan dalam Tri Dharma Perguruan Tingginya. Hal ini berakibat pada:
1.
terjadi brain draining tenaga peneliti ke kegiatan-kegiatan non-penelitian
2. pengusangan
bahan-bahan belajar
3.
penurunan relevansi pendidikan dan layanan
masyarakat,
4.
pendidikan pascasarjana,terutama tingkat Doktor
(S-3) tidak berkembang,
5.
kekayaan intelektual PT tidak berkembang, dan
6. kelas kreatif
dan kewirausahaan (enterpreneurships) tidak berkembang.
Belum ada satupun univesitas yang
layak disebut sebagai Universitas Riset yang sanggup menghasilkan pertahun 50 doktor dengan karya ilmiah berreputasi internasional.
Banyak perguruan tinggi menomorsatukan pendidikan sarjana
strata 1 dengan berbagai macam model
rekrutmen, untuk menarik dana masyarakat. Pendidikan pasca sarjana, terutama pendidikan doktor, sebagai pendidikan berbasis riset belum dianggap sebagai
motor penggalian dana yang berarti. Kerjasama penelitian
pascasarjana dengan industri juga masih amat
langka.
Komunikasi ilmiah antar peneliti
dan profesional dalam PT yang sama juga rendah,
sehingga kohesivitas peneliti di
PT juga rendah. Penggunaan sumber daya bersama
(resource
sharing) antar laboratorium PT juga rendah, akibatnya justru utilisasi
peralatan laboratorium tersebut juga rendah.
Perguruan-perguruan tinggi perlu
menetapkan sebuah Program Utama Riset Universitas yang
dirumuskan bersama-sama dengan para stakeholders penelitian dan secara sengaja mengalokasikan anggaran penelitian sebagai matching
grants yang memancing dana kemitraan dari
pemerintah dan industri. Sehingga volume block grants yang diberikan
oleh
Pemerintah untuk kegiatan penelitian
harus dikaitklan dengan alokasi anggaran penelitian Perguruan Tinggi (PT) yang bersangkutan.
Kelemahan Aktivitas Riset
Data-data tentang aktifitas riset
di sektor pemerintah menunjukkan adanya kelemahan dalam
aktifitas riset yang pada gilirannya menghambat perkembangan Iptek di
Indonesia.
1) Total belanja
riset di sektor pemerintah selama tahun 2003 berjumlah Rp.1.164,2 Milyar. Dari jumlah ini hanya 22,3% dibelanjakan untuk belanja modal,
seperti tanah, gedung, peralatan dan kedaraan. Sisanya untuk belanja
operasional seperti gaji upah, bahan dan
perjalanan. Sebagai perbandingan di Malaysia pada tahun 2002, 54,11% dari biaya riset di sektor pemerintah dibelanjakan untuk belanja modal.
Besarnya jumlah belanja modal mengindikasikan akumulasi
infrastuktur untuk melaksanakan aktivitas
litbang. Semakin besar persentasi belanja modal, semakin kuat basis infrastruktur untuk riset.
2) Rasio biaya
riset sektor pemerintah (Rp.1.164 triliun atau 0.065%) terhadap PDB tahun 2003 (Rp. 1.787,7 trliun). Dengan asumsi bahwa sebagian besar aktivitas
riset di Indonesia dilakukan oleh sektor pemerintah (70%),
maka total belanja riset di Indonesia (sektor:
Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Industri) mencapai 0,09% dari PDB. Sebagai perbandingan, pada tahun 2002 Malaysia memiliki rasio belanja
riset terhadap PDB yang lebih tinggi:0,14%; dua kali lebih besar
daripada Indonesia. Sementara itu, malaysia
memiliki rasio total belanja riset nasional terhadap PDB sebesar 0,69%,delapan
kali lebih besar daripada rasio di Indonesia. Rata-rata negara maju di Eropa dan Amerika Utara mengalokasikan hampir 2,5% dari PDB untuk akivitas
riset.
3) Kegiatan riset
di Indonesia dan pendanaannya masih didominasi oleh sektor pemerintah, sedangkan di Malaysia dan negara-negara maju, sektor
industri lebih dominan. Riset sektor pemerintah baik LPND-Ristek
maupun litbang Departemen sebagian besar
dibiayai oleh anggaran pemerintah (DIP dan DIK). Dari keseluruhan biaya riset di sektor pemerintah, hanya 7% yang berasal dari swasta. Di
negara-negara maju, pada umumnya lembaga riset pemerintah mampu
menarik dana di luar pemerintah
sebesar 25% - 30% dari total belanja riset.
4) Total jumlah
peneliti di sektor pemerintah hanya sekitar 38% dari total personil riset yang ada, sebesar 62% adalah teknisi dan staf pendukung. Angka
persentasi jumlah peneliti ini masih kecil jika dibanding dengan
Malaysia yang lebih dari 70% dari personil litbangnya
adalah peneliti. Ketertinggalan ini secara langsung telah menghambat
perkembangan Iptek di Indonesia. Masalah-masalah
di atas perlu mendapat perhatian serius dan penanganan yang tepat dari berbagai pihak terkait.